Sekolah Inklusi Amaryllis: Keterbatasan Tak Menghalangi Kami untuk Tumbuh

By Pritafw - 20.52

Sumber: Dokumentasi pribadi
Amaryllis adalah sebuah yayasan yang didirikan pada tahun 1997. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan yang mewadahi mereka yang memiliki keterbatasan (cacat). Oleh karena itu, yayasan ini kemudian dikenal sebagai Sekolah Inklusi Amaryllis. Pada awal tahun 2015, saya diberi tanggung jawab oleh sebuah yayasan sosial budaya untuk melakukan kunjungan ke Yayasan Amaryllis. Dalam kunjungan tersebut, saya berkesempatan untuk berbincang dengan beberapa orang tua dan siswa di Yayasan Amaryllis. Perbincangan ini begitu menyentuh hati saya. Sangat sayang apabila kisah perjuangan orang tua dan anak-anak ini hanya saya simpan sendiri. Berikut adalah kisah mengharukan, sekaligus inspiratif dari mereka.

Ibu-ibu inspiratif [Dokumentasi pribadi]

Pertama, kami mewawancarai Ibu Teni yang merupakan ibu dari Salomon. Salomon telah bersekolah di Yayasan Amaryllis sejak tiga tahun yang lalu. Salomon adalah siswa bisu, namun tidak tuli. Jadi, ia mengerti apa yang orang lain katakan, tetapi tidak bisa bicara. Untuk menyembuhkan penyakit Salomon, Bu Teni memberikan Salomon terapi berkelanjutan melalui rumah sakit ketika masih tinggal di Mataram, namun terapi tersebut tidak memberikan perkembangan. Ketika pindah ke Surabaya, Bu Teni kemudian menyekolahkannya di Yayasan Amaryllis. Di yayasan ini, Salomon mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan, Salomon tumbuh dengan sikap peduli lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya. Ia juga lebih cekatan untuk membantu teman-teman di sekitarnya. Misalnya, ketika temannya tidak bisa mengikat tali sepatu, Salomon akan menghampirinya dan membantu mengikatkannya. Ketika itu, saya juga melihat sendiri Salomon berlari ke arah temannya yang memakai kursi roda dan sedang kesulitan meraih sepatunya, ia mengambilkan dan memasangkannya. [Saya yang normal hanya diam dan melihat saja #sigh]

Saya bersama Nizam yang malu-malu diajak foto [Dokumentasi pribadi]

Kedua, Ibu Mu’mainah yang merupakan ibu dari siswa aktif bernama Nizam. Normalnya, umur lima tahun merupakan lompatan bagi anak-anak untuk mulai aktif di lingkungan sekolah. Namun, Nizam justru tidak menikmati lompatan tersebut. Ia kesulitan berkomunikasi dengan teman-temannya karena belum fasih berbicara hingga mencapai usia 9 tahun. Nizam juga memiliki tingkat percaya diri yang sangat rendah. Kondisi tersebut membuatnya ketinggalan pelajaran sejak taman kanak-kanak. Tak pelak, ia pun juga diejek oleh teman sekolahnya karena kondisinya. Tekanan eksternal yang begitu besar menyebabkan ia sempat memilih mogok sekolah. Hingga pada sekitar tahun 2012, tepatnya saat Nizam menduduki kelas 2 SMP, Bu Mu’mainah memutuskan untuk memindahkan sekolah Nizam ke Yayasan Amaryllis. Hasilnya sangat luar biasa. Nizam tumbuh menjadi pemuda yang lebih percaya diri. Nizam bahkan tak malu bersalaman dan berkenalan ketika bertemu dengan saya. Selain cakap bicara, kini Nizam juga bisa menghitung uang dengan lancar sehingga ia bisa membantu pekerjaan ibunya di warung.

Halooooo, ini Viko [Dokumentasi pribadi]

Ketiga, Ibu Tri selaku orang tua Viko, pengidap kelainan otot. Hingga usia 4 tahun, Viko tidak menunjukkan gejala sakit sedikit pun. Gejala-gejala penyakit tersebut baru muncul ketika Viko memasuki sekolah TK. Viko mulai takut menaiki tangga dan gampang jatuh apabila tersenggol temannya. Melihat kondisi tersebut, Bu Tri segera membawa Viko ke rumah sakit. Viko pun didiagnosa memiliki penyakit kelainan otot yang mana otot-ototnya lambat laun akan semakin mengecil sehingga ia akan lumpuh total pada masanya. Karena penyakit tersebut, Viko divonis akan meninggal pada umur 10 tahun. Namun, Viko memiliki semangat yang luar biasa untuk terus sekolah. Ibunya pun mencari berbagai cara agar ia terus bisa melanjutkan sekolahnya secara normal. Selama sekolah, Viko terus didampingi ibunya. Hingga pada akhirnya, kondisi Viko terus melemah dan kakinya mulai lumpuh. Bu Tri membelikannya kursi roda dan meminta izin kepada pihak sekolah agar Viko tetap diizinkan mengikuti pelajaran dengan kursi roda. Pihak sekolah pun mengizinkan. Namun, lambat laun daya tangkap Viko melemah sehingga ia tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah reguler. Pihak sekolah pun menyarankan Viko untuk pindah sekolah. Viko disarankan untuk masuk ke Yayasan Amaryllis. Di sinilah Viko kembali menyalurkan semangat sekolahnya. Ia pun bercerita bahwa ia lebih bahagia sekolah di yayasan karena bertemu banyak teman seperjuangan. Ia merasa tak sendiri dan karena kebahagiaan tersebut, Viko berhasil menguatkan diri dan telah bertahan hidup melewati usia 10.

Begitulah tiga kisah siswa yang saya dengar secara singkat dari orang tuanya. Bagi saya, semangat mereka sangat luar biasa. Bukan hanya anak-anaknya yang tak menyerah kepada keterbatasan, tetapi juga para orang tua yang tak pernah berhenti memberikan dukungan kepada anak-anaknya yang terbatas. Ketulusan hati para orang tua telah mengantarkan anak-anak mereka menuju kekuatan yang tak terbatas. Bagaimana dengan kita? Kita yang dianugerahi kesempurnaan fisik dan tumbuh dengan normal. Sudahkah kita peduli pada orang-orang di sekitar kita? Sudahkah kita membantu orang tua kita? Sudahkan kita membahagiakan orang lain? Sudahkah diri kita dipenuhi oleh semangat kebaikan? Ah sudahlah, simpan jawabannya untuk diri kita sendiri :)

Sesulit apapun keadaan, tak ada kata menyerah untuk terus tumbuh. Tak ada alasan untuk berlama-lama terpendam dalam keterbatasan [Filosofi Bambu]


Layaknya bambu, anak-anak "terbatas" ini sedang berusaha tumbuh melawan keterbatasannya. Mereka mungkin tak mampu berlari sekencang kita, tetapi mereka tetap berupaya untuk berlari menggapai asanya. Layaknya tanah tempat dimana bambu tersebut tumbuh, Amaryllis telah menyediakan lahan untuk tempat tumbuhnya pondasi bambu yang kuat. Mungkin tidak untuk masa sekarang dalam waktu yang singkat, tapi untuk nanti di masa depan dalam waktu yang lambat.

Jangan lupa, kunjungi Yayasan Amaryllis di:
Jl.Darmo Indah Timur Blok Q 27 Surabaya
Telpon : (031) 731 2423
Fax. : (031) 732 1411

Note: Sekali lagi, sebenarnya tulisan ini sudah saya tulis sejak 2015 dan sudah dipublikasikan dalam sebuah majalah yayasan sosial. Yayasan ini telah bekerja sama dengan Yayasan Amaryllis sejak tahun 2010. Kerjasama tersebut berupa didirikannya Cafe Amaryllis yang digunakan untuk membekali siswa-siswi kemampuan berwirausaha. Praktek kerja di Cafe Amaryllis ini ditujukan untuk menumbuhkan kemandirian mereka agar tidak bergantung pada orang lain.

Cafe Amaryllis sempat dipublikasikan di Jawa Pos yang saya lupa edisi kapan [Dokumentasi pribadi]

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar